Hukum  

Penyelesaian Sengketa Prayudisial dalam Kasus Konkrit by Dr. Irman Jaya, S.H., M.H

Redaksi
banner 120x600

Wartasidik.coJalarta

Dr. Irman Jaya, S.H., M.H merupakan Pakar Hukum Tata Negara dan juga Menjabat sebagai Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Hukum, berikut pandangan hukumnya didalam penyelesaian Sengketa Prayudisial yang sering terjadi di dalam Praktik Hukum

prejudicial geschill
merupakan sengketa pengadilan yang timbul dari sengketa yang diperiksa di mana
pengadilan yang sedang memeriksa tidak berwenang untuk memutus perkara yang
baru timbul tersebut, sehingga diperlukan pengadilan lain yang berwenang terlebih
dahulu. Terjadi ketika pengadilan pidana sedang berjalan diperlukan adanya
penetapan dari pengadilan perdata. Sehingga ditempuh terlebih dahulu pengadilan
perdata.

III Baca Juga :

Pertanggung Jawaban Hukum Pers dalam Pemenuhan Rasa Keadilan Masyarakat by Dr. Dwi Seno Wijanarko, S.H., M.H., CPCLE

Edukasi Hukum tentang Sistem pemeriksaan dalam ilmu hukum acara pidana menurut Dr. Dwi Seno Wijanarko, S.H., M.H., CPCLE

Dalam perkembangan selanjutnya, untuk meneguhkan konsepsi penyelesaian.
sengketa prayudisal, Mahkmah Agung mengeluarkan

Surat Edaran Mahkamah Agung yang selanjutnya disebut SEMA Nomor 4 tahun 1980 yang membagi
prejudicial geschill ke dalam dua hal : Pertama, prejudicial au action, yaitu
perbuatan pidana tertentu yang masuk dalam kategori Pasal 84 dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP, dimana disebutkan ketentuan perdata
diputus terlebih dahulu sebelum mempertimbangkan penuntutan pidana.

Kedua, question prejudicial au jugement yaitu keadaan yang menyangkut permasalahan yang diatur dalam Pasal 81 KUHP, dimana Pasal dalam SEMA tersebut sekedar memberikan kewenangan bukan kewajiban kepada hakim pidana untuk menangguhkan pemeriksaan menunggu adanya putusan hakim perdata mengenai persengketaan.

Lebih lanjut, jika hakim hendak menggunakan instrument ini, maka hakim pidana tetap tidak terikat pada putusan hakim perdata yang bersangkutan Ketentuan mengenai prejudicial geschill tidak dapat dibenturkan dengan keberadaan asas nebis in idem, karena kedua hal tersebut merupakan subjek yang
berbeda satu dengan yang lainnya. Dalam sistem peradilan pidana, syarat pokok suatu perkara dikatakan sebagai nebis in idem adalah apabila perbuatan (dalam suatu tindak pidana ) telah diputus dengan putusan inkracht. Terhadap putusan tersebut tidak boleh dituntut kedua kalinya.

Tujuan dan latar belakang dibentuknya ketentuan ini adalah untuk memberikan kepastian dan keadilan hukum, dimana terdakwa yang sudah diputus dengan putusan tetap tidak boleh secara terus menerus dilakukan penuntutan terhadapnya.