Breaking News

Perpres 109/2025 Harus Ditinjau Ulang, PSEL Dituding Proyek Ugal-ugalan

Redaksi

JAKARTA, WARTASIDIK.CO – Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 109 Tahun 2025, dibuat guna mempercepat pembangunan instalasi pengolah sampah menjadi energi listrik (PSEL). Teknologi ini mengubah sampah kota menjadi listrik atau Energi Terbarukan (EBT), justru mendapat kritik dan penolakan dari aktivis lingkungan yang menyebut PSEL sebagai solusi instan yang mahal dan berbahaya.

Belum lama ini, pihak Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menyatakan PSEL adalah komitmen serius. Namun, Perpres ini mewajibkan pemerintah daerah untuk menjamin pabrik PSEL mendapat pasokan sampah dalam jumlah besar setiap hari, tanpa putus. Kewajiban memberikan suplai sampah ke pabrik inilah yang akan menjadi sumber masalah utama.

Masalah utama PSEL, yang sebagian besar menggunakan teknologi pembakaran (insinerasi), adalah kebutuhan mereka akan sampah yang sangat banyak dan terus-menerus. Satu pabrik besar butuh minimal 1.000 ton sampah sehari agar bisa beroperasi dan disinyalir akan membebani APBN dan APBD.

Kepala Divisi Perencanaan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Tubagus Soleh Ahmadi, menyebut kebijakan ini bertentangan dengan Undang-Undang Pengelolaan Sampah yang seharusnya mendahulukan pengurangan sampah dari rumah tangga.

Coba bayangkan, kalau sebuah pabrik dikontrak 30 tahun untuk membakar sampah, pemerintah dan masyarakat jadi tidak punya semangat untuk mengurangi sampah. Justru kita akan didorong untuk terus memproduksi sampah agar kontrak PSEL terpenuhi. Ini seperti memelihara penyakit, bukan menyembuhkannya.

Tak hanya itu, kritik lain juga berfokus pada pemborosan keuangan negara dan kesehatan. Proyek PSEL itu luar biasa mahal. Biaya pengolahan sampah (tipping fee) yang harus dibayar pemerintah daerah kepada pabrik bisa mencapai ratusan ribu rupiah per ton, semua diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Atha Rasyadi dari Greenpeace Indonesia menjelaskan, PSEL menguntungkan investor tetapi membebani keuangan negara.

“Satu proyek PSEL berkapasitas 1.000 ton per hari bisa membebani PLN hingga Rp600 miliar per tahun,” jelasnya.

Dana sebanyak ini bisa menjerat daerah dalam jebakan utang jangka panjang, padahal seharusnya bisa dipakai untuk membangun fasilitas daur ulang di tingkat kelurahan.

Di lain sisi, pabrik PSEL butuh sampah yang belum dipilah. Secara langsung akan menghilangkan peran jutaan pemulung, pengepul, dan pelapak yang selama ini menjadi pahlawan tak terlihat dalam memilah sampah di Indonesia.

Jika semua sampah langsung masuk PSEL, mata pencaharian mereka hilang, dan sistem daur ulang yang sudah berjalan di masyarakat akan lumpuh.

Banyak pihak aktivis lingkungan hidup menuding, PSEL sangat berbahaya untuk kesehatan. Meskipun disebut “ramah lingkungan,” pembakaran sampah tetap menghasilkan polusi udara, termasuk zat beracun mematikan seperti dioksin dan furan, yakni zat pemicu kanker.

Sementara itu, Ketua Badan Pemantau Dan Pencegahan Tindak Pidana Korupsi, & Sekretaris Redaksi Media Aktivis – Indonesia.Co.Id. Agustinus Petrus Gultom menjelaskan, pemerintah melalui Danantara Grup seakan memaksakan dan terkesan banyak kepentingan pada rencana pembangunan 33 PSEL dengan total anggaran sebesar Rp300 triliun, yang per kota atau perlokasinya menelan anggaran sebesar Rp3,2 triliun.

“Terkesan PSEL proyek ugal-ugalan, coba-coba dan pembodohan publik. Padahal, Pemerintah Daerah seperti Bekasi, Bali, Tangerang, Malang, Yogyakarta, Makassar sudah lama menerapkan PSEL dan hasilnya gagal, bahkan hingga terjadinya tuntutan kepada Pemda karena tidak mampu menghasilkan gas mentana dan listrik yang sudah disepakati,” jelas Agus Gultom, panggilan akrabnya.

Di Solo, lajut Agus Gultom, proyek PSEL Putri Cempo yang menjadi program prioritas di era kepemimpinan Wakil Presiden Republik Indonesia Gibran Rakabuming Raka juga gagal total.

Target produksi listrik sebesar 5 megawatt tidak tercapai, akibatnya operator proyek dikenakan denda dan diduga melobi pemerintah untuk mengunah isi MOU agar terhindar dari penalty.

Agustinus Petrus Gultom mendorong pemerintah pusat seharusnya berfokus pada pengembangan teknologi pengolahan sampai lain seperti RDF (Refuse Derived Fuel), yang sudah berhasil dilaksanakan di Rorotan milik Pemprov DKI Jakarta, yakni sistem pengolahan sampah menjadi bahan bakar padat yang dibutuhkan industri semen dan PLTU.

“Pemerintah Pusat jangan malu untuk meniru teknologi RDF Rorotan yang telah sukses mengelola sampah dengan kapasitas 2500 ton per hari. Jakarta sebagai penghasil sampah terbesar telah sukses menjual hasil RDF ke PT Indocement. Nilai ekonominya tinggi, efisiensinya jelas, bahkan memberikan PAD tanpa membebani APBD atau APBN,” katanya.

Perpres 109/2025, terang Agus Gultom, harus ditinjau ulang, karena hanya menguntungkan perusahaan-perusahaan besar produsen kemasan plastik. Pemerintah sebaiknya fokus ke akar masalah yakni mengurangi sampah, memperkuat bank sampah, dan mewajibkan produsen bertanggung jawab atas limbahnya, bukan membangun PSEL solusi sampah mahal dan bikin masalah baru. Proyek ini terkesan dipaksakan, tak ramah lingkungan, pemborosan APBN dan kedepan bisa saja membebankan keuangan APBD setempat,” terangnya.

Penulis: Tim/Red WS Editor: Red WS