Wartasidik.co — Jakarta
Manusia lahir ke dunia mempunyai hak hidup, perlakuan sama tidak dibedakan (diskrimintaif). Bahkan kacamata agama tidak melihat warna kulit, rupa, harta dan tahta yang bernilai dihadapan Tuhan ialah ketaatan. Prinsip hak asasi manusia melekat pada manusia, kendati demikian hak yang dibawa padanya tidak lantas keluar dari aturan hukum/nilai-nilai agama.
Secara normatif manusia memiliki hak pada dirinya karena ia seorang manusia dalam arti hak asasi manusia berlaku kapan saja, di mana saja, dan kepada siapa saja, sehingga sifatnya universal. HAM pada prinsipnya tidak bisa lepas bahkan dicabut. Hak manusia tidak bisa dibagi-bagi, saling berhubungan dan saling bergantung satu sama lain. Dengan demikian hendaknya manusia menghormati, melindungi dan mematuhi hak asasi manusia antar sesama. Maka kajian HAM secara terminologi modern digolongkan menjadi hak sipil dan politik, hak sipil berarti kebebasan sipil untuk hidup, tidak disiksa, dan bebas untuk berpendapat. Secara konseptual, hak asasi manusia dilandaskan pada keyakinan yang dianugerahkan secara alamiah oleh Tuhan.
Anugerah hak asasi manusia yang diberikan Tuhan kepada manusia merupakan karunia yang sudah sepatutnya dipergunakan dengan baik tanpa merendahkan orang lain. Berbicara masalah hak asasi manusia kepada sesama seorang filsuf Barat, Nietzsche mengatakan :
“Orang-orang lemah dan tidak mampu, wajib mengetahui hak-hak mereka. Sebab, hak merupakan dasar pertama dari dasar kecintaan kita kepada kemanusiaan. Wajib pula bagi kita untuk membantu mereka dalam hal ini”.
Jauh sebelum Nietzche mengatakan hak manusia, Islam terlebih dahulu membicarakan hak manusia, bagaimana misalnya nilai-nilai ajaran Islam tak membatasi nilai akhlak yang menjadi ketetapan masyarakat berupa hak yang meliputi setiap sisi manusia. Semua itu tanpa perbedaan warna atau jenis dan bahasa. Hal ini merupakan salah satu karakteristik peradaban Islam tentang hak-hak manusia.